Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2018/PN Mbo | MISRAN ANGKASA | Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Aceh Cq. Kepala Kepolisian Resor Aceh Barat | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Rabu, 09 Mei 2018 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penyitaan | ||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2018/PN Mbo | ||||
Tanggal Surat | Rabu, 09 Mei 2018 | ||||
Nomor Surat | 12345 | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | I. Objek Praperadilan. Bahwa objek Praperadilan dalam Permohonan ini adalah tentang PENYITAAN, sebagaimana diuraikan dalam “SURAT PERINTAH PENYITAAN” Nomor : SP.Sita / 56.b / V / 2018 / Reskrim, tanggal 02 Mei 2018, yang dikeluarkan dan ditanda-tangani oleh a.n. Kepala Kepolisian Resor Aceh Barat - Kasat Reskrim (ic. Termohon). II. Tentang Termohon. 1. Bahwa Termohon adalah pimpinan tertinggi pada Kepolisian Resor Aceh Barat, sehingga secara hukum memiliki tanggung jawab penuh atas perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh jajarannya, yang harus berlandaskan Undang-Undang Kepolisian R.I Nomor 02 Tahun 2002 maupun Peraturan Pemerintah lainnya yang mengatur tentang Kepolisian; 2. Bahwa dengan adanya tindakan Penyitaan yang dilakukan oleh Termohon yang dianggap tidak sah menurut hukum, maka tidak terlepas dari tanggung jawab Termohon, sehingga patut untuk itu Termohon dimintai pertanggung-jawabannya; III. Dasar Hukum Permohonan Praperadilan Pemohon. 1. Bahwa pemeriksaan sah atau tidaknya suatu Penyitaan merupakan salah satu lingkup wewenang Praperadilan, sebagaimana termaktub dalam Pasal 77 KUHAP juncto Pasal 80 KUHAP; 2. Bahwa Pemohon selaku pemilik alat berat, merasa dirugikan haknya atas adanya tindakan Penyitaan yang dilakukan Termohon, sehingga Pemohon berkepentingan untuk menguji sah tidaknya penyitaan dimaksud (vide Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP); 3. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, Praperadilan yang diajukan Pemohon ini adalah merupakan tindakan yang tepat untuk menguji kinerja penegakan hukum, apakah tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Termohon telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan peraturan perundang-undangan atau tidak ; IV. Alasan Permohonan Praperadilan 1. Bahwa Pemohon adalah pemilik 1 (satu) unit alat berat jenis : Excavator, merk : Hitachi, type : ZX210F-5G, warn : Orange (selanjutnya disebut : Alat Berat); 2. Bahwa Pemohon telah menyewakan alat berat tersebut kepada M. TAHIR, pekerjaan Wiraswasta, alamat Gampong Canggai, Kec. Pante Ceureumin, No. KTP : 1105081207840001, untuk masa sewa selama 200 (duaratus) jam, dengan harga sewa per-jam sebesar Rp.250.000,-(duaratus lima puluh ribu rupiah), dengan lokasi kerja di Meulaboh, jenis pekerjaan Leang Clearing Sawah/Kebun, -satu dan lain sebagaimana dimaksud dalam Surat Perjanjian Sewa Menyewa Alat Berat, tanggal 13 Desember 2017 yang ditanda-tangani oleh Pemohon dengan M. TAHIR; 3. Bahwa setahu bagaimana alat berat tersebut telah disita oleh Termohon sejak tanggal 01 Pebruari 2018 hingga sekarang, dan menempatkan alat berat tersebut di halaman Polsek Pante Ceureumin, sehubungan dengan dugaan terjadinya tindak pidana setiap orang dilarang membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a jo Pasal 89 ayat (1) huruf b Undang-Undang R.I. Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang terjadi pada hari Kamis, tanggal 01 Pebruari 2018 sekira pukul 10.00 Wib bertempat di hutang lindung di daerah Gunung Amak lebih kurang 2 jam dari Gampong Sikundo, Kec. Pante Ceureumin, Kab. Aceh Barat; 4. Bahwa ketika Termohon melakukan tindakan Penyitaan alat berat tersebut, tanpa menunjukkan Surat Tugas dan Surat Perintah Penyitaan, bahkan tidak menyerahkan Tanda Terima Barang yang disita kepada Pemohon atau kepada orang yang saat itu menguasai alat berat dimaksud, sehingga dengan demikian tindakan Termohon dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum, yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap PERKAP KAPOLRI No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam : Pasal 11 ayat (1) huruf “i”, yang berbunyi : “setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan tindakan : (i) melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum” 5. Bahwa, Pemohon selaku pemilik alat berat menerima Surat Penyitaan dari Termohon pada tanggal 08 Mei 2018, padahal Termohon melakukan tindakan Penyitaan terhadap alat berat tersebut sejak tanggal 01 Pebruari 2018, akan tetapi Termohon baru mengeluarkan Surat Perintah Penyitaan pada tanggal 02 Mei 2018, sesuai dengan Surat Perintah Penyitaan, No.: SP.Sita/56.b/V/2018/Reskrim, sehingga ditemukan fakta bahwa telah terjadi ketidak-jelasan status alat berat tersebut selama 90 (sembilan puluh) hari lamanya, sehingga tindakan Termohon tersebut, secara nyata-nyata telah bertentangan dengan ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam : Pasal 38 ayat (2) KUHAP : “Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh persetujuannya” 6. Bahwa frasa wajib segera yang tertuang dalam Pasal 38 ayat (2) memang tidak diatur secara tegas dan rinci didalam KUHAP, akan tetapi terminology mengenai frasa wajib segera yang tertuang pada pasal 38 ayat (2) KUHAP tentang Penyitaan dapat dibandingkan dengan frasa segera pada Pasal 18 ayat (3) KUHAP tentang penangkapan yang diputus dalam perkara Mahkamah Konstitusi Nomor : 3/PUU-XI/2013, yang menyatakan frasa segera dalam rumusan Pasal 18 ayat (3) KUHAP adalah tidak lebih dari 7 (tujuh) hari sudah diserahkan kepada keluarga Tersangka, maka jika hal-hal tersebut dikaitkan dengan perkara aquo, maka tindakan Termohon yang baru mengeluarkan Surat Perintah Penyitaan dan menyerahkannya kepada Pemohon setelah 90 (sembilanpuluh) hari adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum; 7. Bahwa persoalan apakah alat berat tersebut digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang didalam kawasan hutan, adalah persoalan lain yang harus dibuktikan didalam pokok perkara, dimana Pemohon dan atau Tersangka kelak mempunyai hak untuk membantahnya dengan menghadirkan bukti-bukti atau saksi yang menerangkan bahwa keberadaan alat berat tersebut tidak (akan) digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan atau mengangkut hasil tambang didalam kawasan hutan, sehingga benda yang disita (alat berat) tidak termasuk sebagai alat pembuktian; 8. Bahwa yang menjadi persoalan utama bagi Pemohon adalah tindakan penyitaan alat berat yang dilakukan oleh Termohon tidak sesuai dengan prosedur hukum, dan Pemohon menilai bahwa Termohon tidak professional dalam menangani perkara aquo, dengan fakta-fakta sebagai berikut : Termohon tidak memberikan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) kepada Terlapor/Tersangka (keluarganya), sehingga bertentangan dengan putusan perkara Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XIII/2015, yang menyatakan pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap Jaksa Penuntut Umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor; Tenggang waktu mengeluarkan Surat Perintah Penyitaan dengan tindakan riil penyitaan dilokasi tempat kejadian diperoleh waktu yang cukup lama, yakni selama 90 (sembilanpuluh) hari, sehingga bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf i juncto pasal 34 ayat (1) huruf g juncto Pasal 34 ayat (2) huruf e dan f PERKAP KAPOLRI No. 8 tahun 2009 tentang Implemantasi dan Standar HAM serta Pasal 38 ayat (1) dan (2) KUHAP; Bahwa Tersangka M. Tahir belum pernah diperiksa (BAP) oleh Termohon, dimana sejak dilakukannya tindakan penyitaan terhadap alat berat tersebut hingga sekarang (90 hari), Tersangka belum pernah di BAP oleh Termohon, padahal jika mencermati isi Surat Perintah Penyitaan No.: SP.Sita/56.b/V/2018/Reskrim ada tercantum/tertulis kata-kata “barang bukti tersebut disita dari atas nama Tersangka M. TAHIR dstnya… ”, pengertiannya berarti Tersangka M. Tahir ketika itu berada ditempat, akan tetapi Termohon tidak melakukan pemeriksaan terhadap Tersangka, sehingga Termohon telah mengabaikan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan Penyidik dapat melakukan tindakan Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan serta Penyitaan terhadap Tersangka jika terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan; Terdapat kejanggalan mengenai jarak antara waktu kejadian dengan laporan polisi, dimana dalam Surat Perintah Penyitaan diuraikan bahwa peristiwa pidana diketahui pada hari kamis, tanggal 01 Pebruari 2018 sekira pukul 10.00 Wib, akan tetapi Laporan Polisi baru dibuat pada tanggal 26 Pebruari 2018, sesuai dengan Laporan Polisi Nomor : LP.A/22/II/2018/ Reskrim, tanggal 26 Pebruari 2018, sehingga terdapat jarak waktu yang cukup lama, yakni selama 25 hari setelah kejadian tindak pidana baru dibuatkan Laporan Polisi, padahal jika melihat model laporan polisi dalam perkara aquo adalah Laporan Polisi Model “A” (Laporan Polisi Nomor : LP.A/22/II/2018/Reskrim, tgl. 26 Pebruari 2018) yaitu laporan yang dibuat seketika oleh anggota Polri yang mengetahui adanya tindak pidana; Bahkan jika berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang perkara tertangkap tangan, sebagaimana diatur pada Pasal 16 ayat (3) PERKAP KAPOLRI No.12 Tahun 2009 yang berbunyi : “Tindakan penyidikan yang dapat dilakukan secara seketika atau langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain : V. Petitum. 1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
|
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |